Title: Hari Ketujuh di Lugano
Oleh: Akihisa Kunisada (Aris Kurniawan)
-----------------------------------------
Oleh: Akihisa Kunisada (Aris Kurniawan)
-----------------------------------------
“Arrivederci, Fabrian.”
Aku melilitkan sehelai syal merah menutupi leher sesaat sebelum melangkah pergi meninggalkan Lugano Dante Hotel. Tak terasa seminggu telah berlalu sejak aku menapakkan kakiku di Zurich International Airport.
“Kau benar-benar akan pergi sekarang?” Tanpa kuduga, Fabrian menatapku dalam dengan bola mata birunya.
Ya Tuhan... Sudah berapa lama aku tidak melihat mata itu?
Mataku tidak bisa lepas dari sosok Fabrian yang berdiri di hadapanku.
Jantungku berdegup kencang, air mataku nyaris tumpah. Aku benar-benar merindukan laki-laki ini.
Aku tahu ini tidak boleh, tetapi aku tidak bisa mencegah rasa sakit yang menghujam dadaku. Melihat Fabrian, membuat hatiku perih. Begitu perih sampai aku ingin menangis.
Demi Tuhan! Apa yang sedang aku pikirkan? Aku tidak boleh memendam perasaan ini. Tidak boleh! Bagaimana mungkin aku bisa mencintai orang yang tidak sepantasnya aku cintai, orang yang sebentar lagi akan menjadi ayah dari anak-anaknya.
Aku hanya bisa mengangguk pelan. Sungguh, aku tak bisa menatap matanya, aku takut mata itu akan menghalangi kepergianku.
“Aku mohon jangan halangi kepergianku.” Hanya kalimat itu yang bisa keluar dari mulutku. Sungguh, hatiku sakit. Aku harus berusaha menelan bongkahan pahit yang begitu mengganjal di hatiku.
Tidak ada jawaban.
Beberapa lama kami saling diam. Membiarkan sunyinya malam menyusup di sekitar kami. Aku memang merasa sangat gugup, tapi anehnya sekaligus merasa tenang. Berada di dekat Fabrian selalu bisa membuatku tenang.
“Ini pasti sangat berat bagimu,” katanya tiba-tiba memecah keheningan di antara kami.
Aku tidak menjawab. Tidak bergerak. Mataku menatap ke depan. Kosong.
“Maafkan aku, Hyunie,” lanjutnya lagi, suaranya agak bergetar.
Diam sejenak, lalu aku berbisik, “Aku juga.”
Fabrian menunduk menatap sepatunya. “Aku menyesal atas semua yang terjadi.”
Aku bersusah payah menelan bongkahan pahit yang tersangkut di tenggorokanku. “Aku juga,” bisikku lagi.
Kami kembali berdiam diri. Kemudian Fabrian mengangkat wajahnya dan menoleh ke arahku.
“Kau tidak usah khawatir,” kataku pelan. “Segalanya akan membaik.”
Perlahan-lahan aku memutar kepalaku menatap Fabrian. Mata biru laki-laki itu begitu dalam, begitu tulus. Aku tidak sanggup membalas tatapannya dan memalingkan wajah.
“Apakah dengan melihatku saja membuatmu sedih?” tanyanya miris. Nada suaranya begitu pelan dan tidak berdaya.
Aku tidak bisa menjawab. Mataku sudah mulai kabur karena air mata. Jangan menangis... Jangan menangis sekarang...
Aku masih tidak mau menatap Fabrian.
“Biarkan aku pergi dari kehidupanmu, Fabrian!” ucapku miris.
Aku bisa melihat kedua tangannya terkepal erat di pangkuannya dan ia menggigit bibir. Untuk sesaat jantungku serasa berhenti berdetak.
“Aku sudah memutuskan untuk kembali ke Korea,” kataku lagi. “Jadi ku mohon jangan halangi kepergianku ini.”
“Berapa lama?” tanyanya tanpa memandang ke arahku.
Aku tidak langsung menjawab. Lalu dengan suara berat akhirnya aku menjawab, “Mungkin aku tidak akan kembali lagi.”
Tidak akan kembali lagi... tidak akan kembali lagi...
Fabrian berusaha mengendalikan napasnya yang terputus-putus. Bernapaslah dengan normal... tarik... keluarkan... tarik... keluarkan...
“Fabrian.”
Dengan enggan Fabrian menoleh. Aku mencoba, berusaha menatap langsung ke matanya, lalu tersenyum. Senyum yang selalu disukainya. Tapi sayangnya Fabrian tidak bisa membalas senyuman itu. Hatinya terlalu hancur untuk tersenyum.
“Aku sangat senang bisa mengenalmu,” kataku lagi. Aku mengucapkan setiap kata dengan pelan, jelas dan tegas. “Terima kasih.”
Kali ini aku mampu menatap ke matanya.
Aku mengulurkan tangan kananku. Fabrian menatap tangan yang terulur itu, lalu kembali menatap mataku. Dengan agak gemetar ia menyambut uluran tanganku.
Kehangatan genggaman tangannya mengalir begitu saja ke tubuhku, mengisi hati dan jiwaku, juga semakin membuat hatiku serasa diremas-remas. Apakah ini terakhir kalinya aku bisa merasakan Fabrian menggenggam tanganku?
Lalu tiba-tiba Fabrian manarik tanganku dengan pelan namun yakin, menarikku mendekatinya, menarikku ke dalam pelukannya.
Aku terpana, tercengang, tapi sama sekali tidak menghindar atau menolak. Aku membiarkan Fabrian melingkarkan sebelah lengannya di sekeliling tubuhku. Aku membiarkan Fabrian memelukku dengan erat, seakan tidak mau melepaskannya lagi. Aku membiarkan diriku tenggelam dalam kehangatannya. Saat itu, aku sempat berharap waktu bisa berhenti. Aku rela memberikan apa saja asalkan waktu berhenti saat itu.
“Aku tidak pernah menyesal mengenalmu,” gumamku di pelukannya. “Percayalah padaku!”
Aku menelan ludah dan air mata yang sudah nyaris jatuh. Aku bisa merasakan Fabrian mengangguk. Ia percaya.
Aku melepaskan pelukannya dan mundur selangkah supaya aku bisa menatap matanya. “Berjanjilah padaku kau akan baik-baik saja,” kataku meminta.
Fabrian menggeleng. Ia tidak sanggup berjanji. Ia tahu ini adalah kata-kata perpisahan. Ia belum siap. Jangan pergi, pintanya dalam hati.
“Fabrian,” panggilku lembut. “Berjanjilah!”
Fabrian menggigit bibirnya. Wajahnya terlihat buram di mataku karena terhalang air mata. Akhirnya ia mengangguk.
Jangan pergi... Jangan tinggalkan aku sendiri...
Aku tersenyum. Lalu mengangkat tanganku dan membelai pipinya. Betapa Fabrian menyukai sentuhanku itu. Tapi, ia juga menyadari itu untuk yang terakhir kalinya.
“Terima kasih,” gumamku. Aku menarik kembali tanganku dan memasukannya ke saku jaket. “Selamat tinggal, Fabrian,” ucapku membalikkan tubuh, lalu melangkah pergi masuk ke dalam taksi yang sudah berhenti di hadapanku.
Aku tahu Fabrian menangis. Ketika aku membalikkan tubuh dan berjalan pergi, aku mendengar isakan laki-laki itu. Butuh tekad kuat dan segenap kendali diriku untuk tidak berbalik dan kembali memeluk Fabrian. Aku tahu kalau aku berbalik dan melihat Fabrian lagi, aku tidak akan sanggup meninggalkan laki-laki itu.
Aku tahu keputusanku ini adalah yang terbaik. Satu-satunya yang bisa dilakukan. Aku tidak tahu apakah aku bisa kembali lagi ke sini. Aku hanya ingin mengubur semua ini dalam-dalam, hingga aku tidak bisa mengingatnya lagi.
Hatiku sakit sekali ketika memeluknya, tapi jauh lebih sakit ketika aku melepaskan pelukannya. Tidak apa-apa... Saat aku meninggalkan Lugano, hatiku tidak akan sakit lagi. Aku yakin itu. Karena pada saat itu, hatiku juga akan mati. Tidak akan merasakan apa-apa lagi.
‘Selamat tinggal, Fabrian. Semoga kau bisa bahagia bersamanya.’
*****
Aku masih duduk di kursi belakang taksi yang terus melaju membawaku menuju Zurich International Airport. Pikiranku terus berkecamuk, hatiku sakit, aku sungguh tidak pernah membayangkan kalau semuanya akan berakhir seperti ini. Tadinya aku berharap, Fabrian akan menepati janjinya untuk memperkenalkanku pada keluarganya, lalu menikahiku. Namun, ternyata semua janji itu hanyalah omong kosong belaka. Tepat di hari ke tujuh aku berada di sini, aku malah mendapatkan sesuatu yang tidak pernah aku duga sebelumnya. Aku benar-benar tidak menyangka, dan sungguh sekalipun aku tidak pernah menduga kalau ternyata aku harus dihadapkan pada sebuah kenyataan, kenyataan yang membuatku harus segera pulang ke tanah airku dan melupakan semuanya.
*****
Pukul 16.00 waktu setempat.
Aku duduk sendiri di dekat jendela besar kamar hotel ini. Pandanganku menerawang menatap keluar jendela. Mobil-mobil yang melintas di bawah sana nampak terlihat kecil jika dilihat dari ketinggian kamar ini. Sudah tujuh hari aku menapakkan kaki di negeri orang ini, negeri yang benar-benar terasa asing dan tidak cocok dengan kepribadianku yang lebih cenderung tidak menyukai keramaian. Sungguh, kalau aku boleh jujur, aku terpaksa datang ke negeri ini. Kalau bukan karena laki-laki itu, aku tidak akan pernah mau menginjakkan kakiku di negeri ini. Fabrian. Dia adalah laki-laki yang sangat aku cintai, laki-laki yang mungkin sebentar lagi akan menjadi suamiku. Aku bahagia, sungguh bahagia saat Fabrian mengundangku untuk bertemu keluarganya. Ia ingin memperkenalkanku pada keluarganya, lalu setelah itu ia akan menikahiku. Aku percaya akan janjinya, aku percaya kalau ia akan menikahiku, itulah kenapa aku terus menunggunya, aku tidak pernah lelah menunggunya, meski sampai hari ini ia belum juga datang menemuiku. Sampai akhirnya aku menerima telepon itu.
“Halo,” sapaku tersenyum setelah mengetahui kalau Fabrian yang meneleponku.
“Halo,” jawab suaranya yang khas dari seberang sana.
“Kau masih belum bisa menemuiku?” tanyaku sedikit merajuk. “Aku sungguh kesepian di hotel ini.”
“Kau sudah siap?” tanyanya tanpa menjawab pertanyaanku.
“He?” Aku hanya bisa melongo mendengar pertanyaannya. Sungguh, aku tidak mengerti apa yang ia maksud.
“Supirku sudah menjemputmu di luar, dia akan membawamu ke rumahku. Aku ingin memperkenalkanmu pada keluargaku, sekaligus ada hal penting yang ingin aku sampaikan,” jelasnya yang membuatku terlonjak senang.
“Benarkah?” tanyaku masih tidak percaya.
“Lebih baik kau segera bersiap,” katanya lalu menutup teleponnya.
Aku bahagia sekali sore ini, sungguh aku tidak pernah merasa sebahagia ini sebelumnya. Akhirnya aku bisa berkenalan dengan keluarganya. Dan sebentar lagi aku akan menikah dengannya. ‘Ya Tuhan, aku sungguh tidak menyangka akan secepat ini,’ batinku senang.
*****
Mobil yang membawaku kini berhenti di depan sebuah rumah mewah yang begitu besar, rumah dengan halaman yang begitu luas dan dihiasi dengan bunga-bunga dan pohon-pohon rindang yang menghijau. Ya Tuhan, betapa bahagianya orang yang bisa tinggal di rumah ini. Benarkah ini rumah Fabrian? Benarkah orang yang kucinta tinggal di rumah ini? Terima kasih Tuhan, kau sudah membawaku ke orang yang aku cinta ini.
Tanpa buang-buang waktu, aku segera turun dari mobil, lalu melangkah memasuki rumah itu, namun langkahku tiba-tiba terhenti sesaat ketika aku sampai di depan pintu. Aku berdiri sejenak di sana. Entah kenapa, aku tiba-tiba merasakan perasaan yang aneh di hatiku, jantungku tiba-tiba berdetak lebih kencang, napasku turun naik tidak teratur, dan kakiku tiba-tiba terasa lemas. Aku ingin mengetuk pintu itu, namun tanganku terasa berat untuk ku gerakkan. Ya Tuhan, kenapa aku tiba-tiba merasa gugup seperti ini?
Aku menarik napas panjang, lalu menghembuskannya. Aku mencoba sekali lagi melakukannya, namun untuk kedua kalinya hal itu tetap tidak bisa aku lakukan, aku tetap tidak bisa menggerakkan tanganku. Aku hanya bisa berdiri mematung, hingga seorang wanita muda tiba-tiba membukakan pintu untukku.
“Kau sudah lama berdiri di sini?” tanyanya lembut.
‘Cantik sekali wanita ini,’ pujiku dalam hati.
Aku hanya bisa mengangguk pelan.
“Kau temannya Fabrian yang dari Korea itu, kan?” tanyanya lagi.
Lagi-lagi aku hanya bisa mengangguk.
“Perkenalkan namaku, Jessica,” ia lalu mengulurkan tangannya ke arahku, dan aku menyambutnya dengan bibir tersenyum. “Aku istrinya Fabrian,” lanjutnya yang langsung membuatku seakan dihantam dengan godam yang beratnya 100 ton.
“Eh?” Aku hanya bisa melongo.
“Kami baru saja menikah, sebulan yang lalu. Dan sekarang aku sedang hamil muda,” jelasnya masih dengan senyum yang mengambang di bibirnya.
“Be… Benarkah i-tu?” tanyaku berusaha menelan bongkahan pahit yang tersangkut di tenggorokanku. Sakit, hatiku benar-benar sakit. Semua rasa bahagia yang tadi sempat bersarang di hatiku kini musnah sudah, semua itu kini berganti dengan ratusan jarum yang terus-terusan menusuk hingga ke dasar hatiku.
“Ayo masuk!” katanya mempersilakan.
Namun aku segera menggeleng. Aku tidak tahan lagi. Aku tidak sanggup kalau lama-lama harus berada di rumah ini. Aku tidak sanggup kalau harus di hadapkan dengan hal yang lebih pahit dari ini. Aku tidak sanggup jika harus mendengar Fabrian mengatakan kalau wanita ini adalah istrinya. Aku tidak mau mendengar itu semua. Aku tidak mau…
“Aku hanya sebentar saja, aku hanya ingin kau menyampaikan salamku pada Fabrian, tolong sampaikan permintaan maafku padanya karena tidak bisa menemuinya, karena aku harus segera terbang ke Korea malam ini,” tolakku dengan hati yang sakit setengah mati. Lalu segera pergi dari hadapan wanita itu, pergi dengan hati yang hancur berkeping-keping, dan dengan harapan yang sudah hangus menjadi abu. Aku tidak sanggup menahan air mataku, aku membiarkannya bobol begitu saja. Aku ingin menumpahkannya, semuanya. Aku berharap air mata ini bisa sedikit meringankan rasa sakit ini.
*****
Aku duduk bersandar di kursi meratapi nasib yang baru saja menimpaku. Air mataku tidak henti-hentinya menetes. Aku sama sekali tidak menyangka jika semuanya akan berakhir seperti ini. Aku tidak pernah menyangka jika ternyata Fabrian sudah mengkhianatiku. Ia sudah membohongiku. Bahkan, ia sudah mengoyak-ngoyak hati dan perasaanku. Sakit…
Aku menatap ke jam yang melingkar di lengan kiriku. Pukul 20.15. Tinggal 45 menit lagi aku berada di sini. Aku akan segera terbang ke Korea. Pesawatku berangkat pukul 21.00 malam ini. Aku ingin segera pergi dari negeri ini. Aku tidak tahan lagi jika harus berlama-lama tinggal di sini. Semua ini benar-benar membuatku sakit. Aku menghela napas panjang, menyeka air mataku, lalu bangkit dari dudukku dan mulai menarik coverku meninggalkan kamar ini.
Aku terus melangkahkan kakiku sesaat ketika langkahku dihentikan oleh seseorang yang sangat aku kenal ketika aku sudah berada di luar hotel. “Fabrian?” gumamku pelan.
“Arrividerci, Fabrian.”
Aku melilitkan sehelai syal merah menutupi leher sesaat sebelum melangkah pergi meninggalkan Lugano Dante Hotel. Tak terasa seminggu telah berlalu sejak aku menapakkan kakiku di Zurich International Airport.
“Kau benar-benar akan pergi sekarang?” Tanpa kuduga, Fabrian menatapku dalam dengan bola mata birunya.
*****
“Nona, kita sudah sampai,” suara supir taksi yang tadi aku tumpangi membuyarkan lamunanku.
Aku terdiam sejenak, lalu mengambil sehelai kertas dari tasku, dan mulai menuliskan kata demi kata. Lalu keluar dari taksi itu dan melangkah menuju kotak surat yang terletak tidak jauh dari tempatku berdiri.
Dear Fabrian,
Aku baik-baik saja, jangan khawatir. Ingatkan aku untuk kembali ke Lugano suatu hari nanti.
Kupandangi kartu pos berisi tulisan tanganku itu dengan dada bergemuruh sebelum menyelipkannya ke dalam kotak surat. Segera sesudahnya, aku gegas melangkah masuk ke ruang tunggu Zurich International Airport. Dalam waktu setengah jam ke depan, pesawat yang kutumpangi akan mengudara menuju tanah airku, meninggalkan Fabrian dan sepenggal harapan yang dititipkannya padaku. -The End-